Masih ingat’kah anda semua dengan firman Allah SWT dalam Al Qur’an surat al-Imran ayat 104?
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar *); merekalah orang-orang yang beruntung”.
*) Ma’ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
Dalam sebuah prespektif, dakwah jelas merupakan bagian sangat penting dalam pergerakan Muhammadiyah; bahkan dakwah merupakan salah satu raison d’etre pokok kelahiran Muhammadiyah hampir seabad lalu. Sepanjang perjalanan sejarahnya, dakwah tetap merupakan salah satu khittah dasar yang dipegangi dan dilaksanakan Muhammadiyah dalam berbagai bentuk kiprahnya. Hemat saya, Muhammadiyah merupakan salah satu dari sedikit organisasi umat Islam yang secara konsisten melaksanakan dakwah yang komprehensif sejak dari dakwah bi al-lisan—meski konvensional, tetap diperlukan—sampai kepada dakwah bi al-hal dalam bentuk yang sangat beragam mulai dari pendidikan, social services (kesehatan, panti asuhan, dan sebagainya), pemberdayaan ekonomi dan seterusnya.
Salah satu distingsi dakwah Muhammadiyah adalah penekanan lebih kuat pada al–amr bi al-ma’ruf daripada al-nahy ‘an al-munkar; yang diaktualisasikan dalam bentuk-bentuk dakwah yang lebih kontekstual untuk kebutuhan dan kemajuan masyarakat—yang dapat disebut sebagai ‘masyarakat peradaban utama’ Kenyataan inilah yang menyebabkan dakwah Muhammadiyah secara aktual lebih merupakan ajakan kepada kebaikan dan kebajikan—yang tentu saja lebih merupakan persuasi damai dalam memecahkan berbagai masalah umat dan juga bangsa. Dakwah seperti ini lebih bersifat evolutif, yang menghasilkan perubahan dan kemajuan secara berangsur-angsur dan bertahap, tanpa menimbulkan goncangan dan gangguan berarti dalam kehidupan masyarakat.
Tetapi, belakangan ini terdapat kalangan warga Muhammadiyah yang lebih menekankan dakwah al-nahy ‘an al-munkar agaknya karena tidak sabar lagi melihat berbagai masalah umat dan bangsa yang belum juga terselesaikan, seperti maksiat dan ‘TBC’ yang masih—atau bahkan dalam perspektif mereka—kian merajalela. Sebab itulah di kalangan warga Perserikatan muncul pemahaman keagamaan yang cenderung kian literal, defensif dan reaksioner, dengan kiprah yang ‘tanpa kompromi’, dan radikal. Pemahaman dan kiprah seperti ini mengakibatkan terjadinya pergumulan di dalam Muhammadiyah sendiri, berupa peningkatan upaya meminggirkan kalangan yang mereka anggap sebagai ‘terlalu’ moderen, progresif, dan bahkan ‘liberal’. Tarik menarik dan pergumulan ini tidak hanya terjadi di dalam tubuh organisasi induk Muhammadiyah, tetapi juga merambah ke dalam institusi milik Persyarikatan seperti sekolah, perguruan tinggi, dan sebagainya.
Gejala dakwah dengan penekanan yang begitu kuat pada al-nahy ‘an almunkar boleh jadi kontra-produktif bagi pergerakan Muhammadiyah secara keseluruhan—baik secara internal maupun eksternal. Memang ideologi Muhammadiyah yang menekankan pada al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-hadits, Islam yang murni—yang bersih dari TBC—membuat Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi ‘Salafi’ yang sangat aktif dalam al-amr bi al-ma`ruf. Meski Muhammadiyah pada dasarnya berpaham keagamaan Salafi, tetapi karena pendekanannya yang menekankan pada al-amr bi al-ma’ruf dengan dakwah evolutif tadi, Muhammadiyah dengan mudah dan cepat mengadopsi pemikiran, konsep dan praxis moderen untuk memajukan kiprahnya sebagaimana jelas terlihat dalam dakwah melalui pendidikan dan social service-nya. Dengan kian meningkatnya wacana dan gerakan Salafi keras dan radikal di Indonesia belakangan ini, bisa tercipta semacam kontestasi internal didalam tubuh pergerakan yang pada gilirannya dapat mempengaruhi kiprah dakwah Muhammadiyah secara keseluruhan.
Dakwah dalam pengertian seluas-luasnya jelas memiliki peran strategis dan instrumental dalam upaya membangun peradaban utama. Menurut saya peradaban utama dalam konteks Islam dan umat Muslim Indonesia adalah peradaban yang Islami, berkemajuan, berkeadilan dan berkesejahteraan. Dalam konteks ini, dakwah Muhammadiyah yang telah berjalan dan mapan selama ini perlu peningkatan dan akselerasi, khususnya dalam bidang pendidikan dan pelayanan sosial. Dalam kajian dan observasi komparatif, saya menemukan Muhammadiyah merupakan satu-satunya organisasi Islam terbesar di seluruh wilayah Dunia Muslim dalam pendidikan dan pelayanan sosial. Dalam konteks Indonesia yang masih terus menghadapi beban kemiskinan dan keterbelakangan, usaha Muhammadiyah dalam pendidikan dan pelayanan sosial masih sangat dibutuhkan.
Pengembangan ‘quality education’ mestilah menjadi prioritas—tidak hanya dengan memperbanyak sekolah-sekolah Muhammadiyah pada berbagai tingkatannya—tetapi lebih-lebih lagi dengan meningkatkan mutunya. Memang, dalam usaha peningkatan mutu tersebut, sekolah-sekolah Muhammadiyah bisa terjebak dalam dilema antara pendidikan bermutu yang memerlukan dana besar dengan penyediaan pendidikan (capacity expansion) yang murah sehingga bisa dijangkau kaum dhua`afa’. Jalan keluar dari dilema ini antara lain adalah dengan peningkatan dan filantropi (dalam bentuk ZISWaf, dan endowment lainnya) Muhammadiyah untuk pendidikan.
Peradaban utama jelas hanya bisa terbentuk jika umat dan bangsa memiliki tingkat kemajuan ekonomi yang memadai; selama masih banyak bagian masyarakat yang masih miskin, jelas sulit berbicara tentang peradaban utama. Dalam konteks itu, Muhammadiyah sepatutnya juga meningkatkan kiprahnya dalam pengembangan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Memang selama ini juga telah berusaha dan bergerak dalam bidang ini; tetapi tampaknya belum banyak hasil yang dicapai; karena itu perlu berbagai terobosan baru untuk membantu pengembangan berbagai usaha kecil dan menengah yang melibatkan banyak warga Muhammadiyah.
Salah satu kunci pokok lainnya dalam pembentukan peradaban utama adalah pengembangan dan peningkatan keadaban masyarakat (public civility). Terutama sejak bermulanya reformasi pada 1998 hingga sekarang ini kita menyaksikan semakin merosotnya keadaban publik dalam bentuk pelanggaran hukum, rendahnya disiplin masyarakat, dan seterusnya. Banyak kalangan terlihat tidak lagi malu melakukan hal-hal yang bertentangan atau tidak sesuai dengan keadaban publik. Muhammadiyah dengan berbagai ortom dan lembaga pendidikan dan dakwah sepatutnya juga memberikan perhatian khusus pada penegakan kembali etika dan keadaban publik tesebut; hanya dengan keadaban publik yang kuat, negara Indonesia dapat maju dan berharkat.
Peradaban utama juga meniscayakan partisipasi publik dalam proses-proses politik demokrasi yang kini sudah sampai pada titik yang kelihatannya tidak bisa dimundurkan lagi (point of no return). Tetapi juga jelas, bahwa proses-proses politik demokrasi kita masih menyisakan banyak masalah, sejak dari fragmentasi politik, kepincangan politik, tidak fungsionalnya check and balances dan seterusnya. Salah satu agenda pokok dalam masa pasca-Pemilu 2009 adalah pemberdayaan kembali masyarakat madani yang sempat mengalami disorientasi karena proses-proses politik yang manipulatif dan divisif. Muhammadiyah sebagai Islamic-based civil society masih tetap merupakan salah satu pilar pokok masyarakat madani di negara ini dengan leverage yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Dalam konteks itu, Muhammadiyah hendaknya terus berdiri di depan dalam pemberdayaan civil society dalam upaya mewujudkan peradaban utama yang demokratis.
Terakhir untuk mewujudkan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah menuju Peradaban Utama maka diperlukan adanya komitmen dan konsistensi warganya terhadap apa saja yang telah menjadi keputusan bersama (Muktamar) dengan sedikit mengorbankan diri untuk berta’dzim dengan kebijakan-kebijakan pimpinan selama tidak menyimpang dari aturan baku yang berlaku dipergerakan Muhammadiyah baik yang berupa landasan ideologi maupun landasan operasionalnya organisasi.
*) Disarikan dari berbagai sumber tulisan dan ceramah/pidato tokoh Muhammadiyah dalam web/blog maupun kajian-kajian kader, disampaikan dalam acara pengajian Baitul Arqam Pimpinan Cabang Muhammadiyah Kecamatan Gedangsari, 13-14 Juli 2012, penyaji adalah GPAI SDN Paliyan III, Guru Tetap Yayasan di SMK Muhammadiyah I Playen dan staf pengajar di UMY dan materi ini dipublikasikan untuk dijadikan bahan renungan bagi simpatisan, anggota dan pimpinan Muhammadiyah
oleh: Drs. Mahmud Fauzi, M.Pd.I
(Ketua Majelis Pendidikan Kader
Pimpinan Daerah Muhammadiyah Gunungkidul *)