Merajut Pemikiran Berserak tentang Muhammadiyah dan Politik

Perangko Satu Abad Muhammadiyah

Di bawah ini adalah beberapa pemikiran dari kalangan Tokoh  muda Muhammadiyah yang terekam berupa tulisan berserak tentang hubungan Muhammadiyah dengan politik, tulisan pertama adalah dari saudara Asep Purnama Bachtiar, kemudian Hajriyanto, kemudian dilengkapai dengan tuilisan Prof DR. Azumardi Azra seorang akademisi yang banyak memperhatikan tentang gerakan Islam di tinjau dari segi sosiologi, tulisan yang berserakan tersebut kemudian penulis susun dalam bentuk rangkaian-rangkaian yang saling bergayut antara satu dengan yang lain sebagai upaya untuk memberikan pencerahan bagi warga Muhammadiyah menghadapi Pemilu 2014 nanti.

Diharapkan dengan adanya untaian tulisan ini menjadi bekal bagi para pimpinan, anggota dan simpatisan Muhammadiyah tetap mengedepankan persatuan dan kesatuan antar intern warga Muhammadiyah, sehingga diantara kita tidak menjadikan ‘titik tengkar’ di antara warga Muhammadiyah dalam hal politik diperpanjang sampai PEMILU 2014 usai. Kita tidak mengharapkan kapal besar yang bernama Muhammadiyah ini kemudian menjadi ‘retak’.

Oleh karena itulah maka siapapun warga Muhammadiyah yang memiliki kesempatan untuk 5 tahun kedepan berada di gedung “pojok kidul wetan PEMDA GUNUNGKIDUL” untuk tetap konsisten dan komitmen terhadap niat awal serta tetaqp menjaga tali silaturrahmi diantara warga tanpa mempermasalahkan kendaraan yang ditumpanginya. Diharapkan pula diantara mereka tetap menumbuh kembangkan sikap Tawashau (saling mengingatkan), Ta’awun (Isaling tolong menolong) serta Takaful (saling menjamin) sehingga masing-masing tetap menjaga muru’ah (kehormatan) pribadi maupun organisasi.

Angka 101 tahun telah dimasuki Muhammadiyah. Pada usia yang sudah satu abad lebih ini, asumsi dan persepsi mengenai adanya hubungan antara Muhammadiyah dan politik sampai sekarang ternyata masih tertanam kuat dalam benak beberapa kalangan. Saking yakinnya, sampai-sampai anggapan tersebut berkembang menjadi semacam kesimpulan bahwa Muhammadiyah tidak bisa lepas dari politik praktis atau Muhammadiyah harus mempunyai partai politik sendiri yang resmi. Pandangan dan keyakinan itu kebanyakan dianut oleh aktivis atau pengurus partai politik, baik yang masih memegang jabatan struktural di persyarikatan- termasuk di organisasi otonom Muhammadiyah-maupun yang sudah tidak lagi menjabat. Rata-rata sikap dan pikiran tersebut didasarkan pada “pembenaran” sejarah secara sepihak mengenai perjalanan Muhammadiyah yang bersinggungan dengan partai politik.

Di antara klaim historis tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, Khittah Ponorogo (1969) yang menyebutkan saluran dakwah Muhammadiyah salah satunya melalui partai politik.Parpol itu kemudian dikenal dengan nama Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Kedua, Khittah Ujungpandang (1971) yang oleh sementara pihak dinilai sebagai kegamangan Muhammadiyah melepas Parmusi. Ketiga, Tanwir di Semarang (1998) yang dianggap beberapa kalangan merekomendasikan berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN). Keempat, Tanwir di Mataram (2004) yang diklaim memberikan lampu hijau kepada Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) untuk mendirikan partai baru, yang kemudian bernama Partai Matahari Bangsa (PMB).

Penting untuk dicermati bahwa Parmusi dibentuk Muhammadiyah, namun yang tidak boleh dilupakan adalah hubungan selanjutnya setelah Parmusi itu berdiri sebagaimana telah diantisipasi pada poin 6-8 Khittah Ponorogo: “Muhammadiyah harus menyadari bahwa partai tersebut merupakan objeknya dan wajib membinanya; Antara Muhammadiyah dan partai tidak ada hubungan organisatoris, tetapi tetap mempunyai hubungan ideologis; Masing-masing berdiri dan berjalan sendiri-sendiri menurut caranya sendiri-sendiri, tetapi dengan saling pengertian dan menuju tujuan yang satu.” Selanjutnya Khittah Ujungpandang (1971), khususnya pada poin ke-3, merupakan pilihan tegas Muhammadiyah dalam bersikap terhadap Parmusi.

Pada poin ini disebutkan, “Untuk lebih memantapkan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam setelah Pemilu 1971, Muhammadiyah melakukan amar ma’ruf nahy munkar secara konstruktif dan positif terhadap Partai Muslimin Indonesia seperti halnya terhadap partai-partai politik dan organisasi-organisasi lain.” Kalimat tersebut jelas menunjukkan gagasan utamanya mengenai posisi Muhammadiyah sebagai subjek atau pelaku dakwah. Dalam hal ini, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam juga melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar kepada Parmusi serta kepada partai-partai politik dan organisasi-organisasi lain (objek).

Demikian pula tentang berdirinya PAN yang oleh sementara pihak dikatakan karena adanya wasilah rekomendasi Tanwir di Semarang (1998). Padahal, rintisan berdirinya PAN telah berlangsung jauh sebelum pelaksanaan Tanwir di Semarang itu dan tidak ada keputusan agar Muhammadiyah membentuk partai politik. Begitu juga tentang Keputusan Tanwir Mataram (2004), kalau dibaca dengan cermat, sebetulnya bukan “lampu hijau”, tetapi “lampu kuning” bagi AMM yang ingin mendirikan partai baru.

Perhatikan dengan saksama dua kalimat kunci dari teks Keputusan Tanwir Mataram kalau mau mendirikan partai politik: 1) pertimbangan yang matang dan pemikiran yang mendalam, bukan karena kekecewaan atau sekadar ingin berebut kekuasaan; 2) perhatikan nilai dasar persyarikatan dan tidak menyeret Muhammadiyah ke dalam politik praktis. Gelagat untuk menyeret atau memanfaatkan Muhammadiyah demi kepentingan politik praktis sudah mulai ditunjukkan oleh partai baru (PMB) yang mengklaim memperoleh “lampu hijau” dari Tanwir Mataram itu. Kalau cermat dan konsisten dengan poin ke-10 dari keputusan sidang Tanwir Mataram itu, maka PMB tidak perlu melekatkan diri dengan Muhammadiyah beserta simbol dan semua jaringannya.

Politik Kebangsaan
Pada waktu Tanwir di Mataram, PP Muhammadiyah bisa saja melarang langsung atau menolak aspirasi sebagian kalangan AMM yang ingin membentuk partai baru.Tetapi sikap bijak dan perhatian yang arif terhadap generasi muda itu yang dikedepankan oleh Muhammadiyah, kendati ternyata tidak beroleh respons serupa. Karena itu, yang dibutuhkan sekarang adalah ketegasan sikap Muhammadiyah terhadap oknum atau kelompok yang suka memperalat persyarikatan demi kepentingan politik mereka. Sikap ini bukan berarti kaku, tetapi tegas adalah pasti, tidak ngambang atau ragu-ragu. Jadi, dalam ketegasan ada konsistensi dan komitmen.

Di samping itu, komitmen dan loyalitas dari jajaran pimpinan persyarikatan dan barisan kader serta seluruh anggota Muhammadiyah juga dituntut implementasinya demi terbangunnya revitalisasi ideologi dan aktualisasi agenda strategis organisasi. Dalam hal ini, hak berpolitik warga dan kader Muhammadiyah tetap dihargai karena siapa pun tidak punya wewenang menghalang-halangi berdirinya partai politik atau melarang orang lain berpolitik. Tetapi, jangan mengabaikan kebijakan politik Muhammadiyah yang tidak mengaitkan institusi dan pimpinannya dengan partai politik manapun, termasuk PAN atau PMB.

Di sini perlu dipahami bahwa Muhammadiyah secara resmi dan sah telah membuat kebijakan dalam masalah politik dan partai politik. Salah satu keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-45 menyatakan, “Menolak upaya-upaya untuk mendirikan parpol yang memakai atau menggunakan nama atau simbol-simbol Muhammadiyah.” Kebijakan politik Muhammadiyah itu akan gagal dipahami jika tidak mengaitkannya dengan konteks dan setting sosio-historis yang melingkupinya. Karena itu, hubungan Muhammadiyah dengan politik adalah dinamika. Peran dan strategi politik yang dilakukan Muhammadiyah lebih pada program dan gerakan pemberdayaan dan pencerahan umat bagi kemajuan bangsa.

Hal itulah yang bisa disebut politik kebangsaan Muhammadiyah, dengan tetap mengambil jalur kultural atau dengan menerapkan high politics. Langkah dan kebijakan ini merupakan salah satu rumusan kunci Khittah Denpasar 2002, yang sering diabaikan oleh para aktivis parpol. Jadi, Muhammadiyah itu tidak abai dengan politik, dan politik kebangsaan dijadikan pilihannya untuk kebangunan negara-bangsa ini. Itulah politik Muhammadiyah yang tidak menjebakkan dirinya pada partai tertentu atau melakukan politik praktis seperti yang biasa dilakukan oleh partai politik.

Pilihan ini diambil, selain untuk meneguhkan Muhammadiyah sebagai gerakan kultural, juga agar pengembangan masyarakat madani bisa terus bergerak. Identitas organisasi dan khitah perjuangan Muhammadiyah tentu tidak bisa dijadikan komoditas politik yang berjangka pendek atau dimanipulasi untuk kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok. Untuk urusan politik, jangan mempertaruhkan nama besar Muhammadiyah yang sudah satu abad lebih ini atau apalagi menggadaikannya dengan sesuatu yang murah dan hal-hal yang sesaat (prakmatis).

Muhammadiyah dalam Politik Nasional

Azyumardi Azra (Direktur  Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta) pada suatu kesempatan menulis bahwa diperlukan adanya usaha untuk disegarkan kembali bahwa Muhammadiyah adalah salah satu di antara dua non-government voluntary associalions terbesar dalam lingkungan umat Islam Indonesia -bahkan juga sekaligus terbesar di dunia muslim. Dengan berbagai organisasi sayapnya, lembaga dan amal usahanya, Muhammadiyah memainkan banyak peran penting dalam kehidupan berbangsa dan ber-negara, baik dalam dakwah, pendidikan, kesehatan, penyan-tunan sosial, ekonomi, dan seterusnya.

Peran Muhammadiyah dalam politik nasional juga sangat penting. Muhammadiyah memang bukan partai politik. Muhammadiyah lebih merupakan organisasi Islamic-based civil society (ma-“syarakat madani) dan sekaligus sebagai interest group (kelompok kepentingan). Dengan begitu, Muhammadiyah memiliki posisi sangat penting lian strategis dalam dinamika politik nasional. Besarnya Muhammadiyah dalam berbagai segi dan juga dengan keluasan ruang geraknya membuat daya tekan politik (political leverage) perserikatan ini dalam kancah politik nasional tidak bisa diabaikan. Meskipun, sekali lagi, ia bukanlah organisasi politik. Walau begitu. Muhammadiyah seyogianya tidak tampil “terlalu politis” dalam berbagai perkembangan dan dinamika politik nasional. Sebaliknya, Muhammadiyah mesti senantiasa lebih menampilkan diri sebagai civil society dan interest group, yang sekaligus memainkan peran sebagai pressure grdup (kelompok penekan).

Salah satu faktor kebertahanan dan keberhasilan Muhammadiyah sepanjang sejarah dalam menjalankan misinya adalah kemampuannya memelihara jarak (disengagement) dengan negara, kekuasaan (power), dan politik sehari-hari (day-to-day politics). Muhammadiyah dalam banyak perjalanan sejarahnya cenderung melakukan “political disengagement“, menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam politik, apakah “politik negara” (state politics) maupun “politik kepartaian” (party politics), atau politik kekuasaan (power politics). Dengan watak seperti itu, Muhammadiyah dapat terhindar dari kooptasi negara atau, lebih parah lagi, bahkan menjadi bagian dari negara itu sendiri. Begitu pula dengan sikap Muhammadiyah yang mengambil jarak dengan parpol-parpol sehingga tidak terjadi identifikasi Muhammadiyah dengan parpol tertentu. Hasilnya, Muhammadiyah dapat memelihara karakter dan mu-ruah-nya sebagai organisasi civil society.

Sebaliknya, dalam ekspresinya sebagai organisasi civil society vis-a-vis negara, Muhammadiyah tidak menjadikan dirinya sebagai “altematif bagi negara”, berusaha menumbangkan kekuasaan negara untuk kemudian menjadi tulang punggung baginegara itu sendiri. Namun, Muhammadiyah lebih cenderung akomodatif terhadap negara. Meskipun, dalam kasus-kasus tertentu. Muhammadiyah melakukan resistansi sangat kuat terhadap negara, seperti dalam hal asas tunggal Pancasila pada paro pertama dasawarsa 1980-an. Dengan demikian, ekspresi dan aktualisasi civil society Muhammadiyah berbeda dengan pemahaman klasik dan kovensional tentang civil society yang dipandang sebagai gerakan dan kelompok oposisional yang bertujuan menumbangkan rezim yangberkuasa.

Politik Nasional dan Rekonsiliasi
Perkembangan politik nasional pasca-Pileg dan Pilpres 2009 yang tidak terlalu lama jarak waktunya dengan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah menampilkan gambaran campur aduk. Pemilu 2009 masih menyisakan berbagai dampak yang tidak selalu positif, baik pada tingkat nasional secara keseluruhan maupun dalam konteks Muhammadiyah. Perkembangan politik nasional sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dilantik kembali kali kedua pada 20 Oktober 2O09 bahkan penuh gejolak karena munculnya berbagai kasus semacam “Cicak versus Buaya” (KPK versus Polri), kasus Bank Century, aksi massa pada Hari Antikorupsi 9 Desember 2009, mundurnya Menkeu Sri Mulyani Indrawati, munculnya Sekretariat Bersama Koalisi, dan seterusnya.

Ketidakpuasan kalangan publik -termasuk kalangan Muhammadiyah- terhadap Presiden Yudhoyono karena sikap dan pernyataannya dalam merespons berbagai kasus tersebut justru meningkat. Dan, itu mengakibatkan berbagai program prioritas ” 100 Hari” pemerintahan Yudhoyono-Boediono kelihatannya sulit tercapai. Bahkan, kekisruhan politik sejak bulan dan tahun awal ini sangat boleh jadi mewarnai pemerintahan ini sepanjang masa kekuasaannya.

Muhammadiyah cenderung mengambil posisi berseberangan, kritis -untuk tidak menyatakan “beroposisi”- terhadap rezim Yudhoyono-Boediono. Sikap kritis Muhammadiyah terhadap pemerintahan Yudhoyono terbentuk sejak tahun-tahun terakhir pemerintahannya periode pertama (2004-2009). Hubungan yang kian tidak mulus antara Muhammadiyah dan Presiden Yudhoyono kian meningkat ketika Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin (seperti juga NU dan banyak ormas Islam lain), baik secara implisit maupun eksplisit, memberikan dukungan kepada pasangan capres-cawapres M. Jusuf Kalla-Wiranto.

Sikap Muhammadiyah dan ormas-ormas Islam tersebut kelihatannya sangat membekas dalam diri Presiden Yudhoyono. Akibatnya, Muhammadiyah dan NU khususnya tidak lagi “diundang” untuk memberikan kadernya menjadi anggota kabinet. Bahkan, kini tidak ada lagi figur representasi Muhammadiyah dalam Kabinet Indonesia Bersatu II. Padahal, terdapat beberapa posisi menteri yang dalam kabinet-kabinet masa Pasca-Soeharto hampir selalu dipegang figur-figur Muhammadiyah. Terkatakan atau tidak oleh para pimpinan dan anggota Muhammadiyah, kenyataan itu merupakan sesuatu hal sangat pahit yang sedikit banyak menimbulkan resentment di lingkungan perserikatan.

Hasilnya adalah meningkatnya sikap kritis dan oposisional Muhammadiyah, setidaknya sebagaimana ditunjukkan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dan juga oleh dua mantan Ketua PP Muhammadiyah A. Syafii Maarif dan M. Amien Rais. Mereka pernah secara lugas menuntut Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani mengundurkan diri, paling tidak untuk sementara waktu ketika pengusutan “kasus Century” berlangsung. Lebih jauh, kenyataan bahwa rapat-rapat kordinasi di antara berbagai kalangan menjelang aksi massa pada Hari Antikorupsi 9 Desember 2009 diadakan di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, mengindikasikan sikap oposisional tersebut.

Dampak dan konsekuensi selanjutnya darisikap kritis dan oposisional Muhammadiyah vis-a-vis Presiden Yudhoyono telah terlihat dalam beberapa bulan terakhir. Tetapi, menjelang muktamar sekarang, mulai terlihat gejala rapprochement dan rekonsiliasi di antara kedua pihak. Indikasi rekonsiliasi itu adalah keinginan Muhammadiyah agar Presiden Yudhoyono membuka muktamar yang kemudian berbalas kesediaan RI I meresmikan muktamar lewat televideo dari Madinah al-Munawarah di sela-sela ibadah umrahnya

Memang rekonsiliasi merupakan langkah lebih baik bagi Muhammadiyah. Sebab, jika dalam aktualisasi dirinya sebagai civil society dan interest group tetap bersikap oposisional, Muhammadiyah sedikit banyak bakal menghadapi kendala. Sebagai civil society, Muhammadiyah boleh saja memainkan peran sebagai counterweight terhadap Presiden Yudhoyono. Tetapi, karena sikap krirtis dan oposisional, Muhammadiyah tidak dapat memainkan peran mediating dan bridging di antara negara (tepatnya Presiden Yudhoyono) dengan masyarakat akar rumput. Sikap kritis Muhammadiyah terhadap Presiden Yudhoyono selama ini berujung pada peningkaian disharmoni denganRI I.

Muhammadiyah boleh jadi juga mengalami hambatan dan kesulitan dalam aktualisasi dirinya sebagai “kelompok kepentingan”. Boleh jadi sikap oposisional Muhammadiyah membuat aparat pemerintahan dan birokrasi pada berbagai levelnya juga tidak lagi kooperatif dengan Muhammadiyah. Dan, tentu saja hal itu tidak menguntungkan Muhammadiyah dan umat secara keseluruhan. Mempertimbangkan semua itu, tidak ada pilihan bagi Muhammadiyah kecuali lebih rckonsiliatif dan kooperatif dengan kepemimpinan nasional di bawah Presiden Yudhoyono. Wallahu a lam bish-shawab. (*)

Tidak seperti halnya dengan Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah merupakan persyarikatan yang tidak pernah terlibat langsung dengan politik praktis. Kalau NU pernah menjadi partai politik yakni Partai NU (1955), maka Muhammadiyah tidak pernah mengalaminya, kecuali empat model “pernikahan” dengan parpol. Persyarikatan yang didirikan di kampung Kauman, Yogyakarta pada 18 November 1912 atau bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 Hijriah itu pernah melakukan “pernikahan resmi” dengan parpol ketika menjadi anggota istimewa dari Masyumi. Namun, gerakan Islam modernis yang didirikan KH Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis itu juga pernah melakukan “pernikahan siri” dengan parpol ketika pendirian Parmusi (Tanwir Ponorogo).

Selain itu, Muhammadiyah pernah melakukan “nikah mut`ah (kontrak)” ketika sebagian pengurusnya terlibat dalam pendirian PAN, tapi akhirnya ditinggalkan parpol bentukan Amien Rais itu. Model paling akhir justru bukan “pernikahan”, melainkan “perceraian” organisasi pemurnian dan pembaruan Islam itu dengan parpol sebagaimana dirumuskan dalam Tanwir Denpasar (2001). “Relasi Muhammadiyah dengan parpol itu sebenarnya sudah cukup jelas, karena Muhammadiyah secara historis tidak boleh berpolitik praktis,” kata Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Din Syamsudin, di Surabaya (16/3/2010).

Setelah menjadi pembicara utama dalam seminar pramuktamar di Gedung PW Muhammadiyah Jatim, ia mengatakan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah itu mencakup seluruh bidang kehidupan, termasuk politik. “Tapi, politik dan partai politik itu berbeda. Sejak sidang tanwir di Denpasar pada tahun 2001, Muhammadiyah bertekad mengintensifkan politik kebangsaan, sehingga Muhammadiyah tetap terlibat dalam politik,” katanya. Sedari Sidang Tanwir Denpasar itu, Muhammadiyah sudah memutuskan tidak ada hubungan struktural dan afiliasi dengan parpol mana pun. “Masalahnya, memang terletak pada penerapan terkait era sekarang yang bersifat multipartai. Ada yang berharap netralitas Muhammadiyah itu pasif, tapi kita sudah sepakat dengan netralitas aktif,” katanya. Dalam netralitas aktif itu, katanya, Muhammadiyah akan ke mana-mana, sehingga keterlibatan warga Muhammadiyah dalam politik praktis akan ada di PAN, PMB, PPP, Golkar, PDIP, Partai Demokrat, dan sebagainya. “Jadi, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam tidak mungkin untuk tidak berpolitik, karena Islam juga mengatur segala aspek kehidupan, termasuk politik, tapi khusus politik praktis akan ke mana-mana,” katanya.

Amar makruf nahi munkar
Secara historis, politik yang melekat pada Muhammadiyah adalah politik kebangsaan yang sering disebut dengan politik “amar makruf nahi munkar” (mengajak ke kebaikan dan mencegah kemungkaran). Bahkan, para pemimpin terdahulu di Muhammadiyah sangat aktif berpolitik seperti KH Ahmad Dahlan di Budi Utomo atau KH Mas Mansur dalam BPUPKI. “Artinya, Muhammadiyah itu tidak segan-segan menjadi pengeritik paling depan jika pemerintah bertindak salah, tapi Muhammadiyah juga akan menjadi pendukung terdepan jika pemerintah memang benar,” kata Din Syamsudin. Oleh karena itu, katanya, Muktamar Satu Abad di Yogyakarta akan menjadi pertaruhan gerakan penjaga “perjalanan” sejarah bangsa itu dalam memberikan sumbangsih untuk bangsa dan negara.

Pandangan senada diungkapkan Ketua Lembaga Amil Zakat Infaq Shodaqoh (LAZIS) PP Muhammadiyah, Hajriyanto Y. Tohari, yang juga salah seorang politikus Muhammadiyah. “Secara organisasional, Muhammadiyah memang menyatakan dirinya sebagai tidak memiliki afiliasi politik dengan partai politik mana pun, tidak berpolitik praktis, dan membebaskan warganya untuk memilih dalam pemilihan umum atau pilkada,” katanya.

Masalah itu sudah selesai dan sudah berjalan bertahun-tahun, sehingga tidak ada seorang pun warga atau aktivis Muhammadiyah yang menyatakan keinginan untuk mengubahnya dalam Muktamar ke-46 di Yogyakarta pada 3-8 Juli 2010. “Parpol itu sangat penting dan strategis, termasuk untuk menegakkan dakwah Islam melalui tangan negara, tapi wilayah yang penting itu sengaja tidak dipilih oleh Muhammadiyah yang sejak kelahirannya telah memosisikan diri sebagai gerakan Islam nonpolitik,” katanya.

Hal itu, katanya, karena Muhammadiyah menyadari bahwa persentuhan dengan dunia politik itu cukup rumit. “Sekali melibatkan diri dalam pergumulan politik kekuasaan, ketika itu pula centang-perenang dan konflik di dalam maupun keluar akan terjadi, yang pada akhirnya membuat gerakan Islam ini kehilangan kepribadian,” katanya. Namun, katanya, Muhammadiyah tidak boleh alergi dengan politik atau kekuasaan. “Yang perlu dijaga hanyalah bagaimana agar kita tidak terjebak oleh isu-isu politik praktis yang tidak menguntungkan. Berpikir strategis dalam rangka menatap masa depan,” katanya.

Agaknya, watak persyarikatan Muhammadiyah dalam relasi dengan politik adalah “amar makruf nahi munkar” yakni tidak berpolitik praktis, tapi berperan kritis dalam perpolitikan nasional.

Relasi Muhammadiyah dan Politik: Antara Rumusan Khitah dan Kenyataan

Hajriaynto Y. Thohari menuliskan bahwa Secara normatif bagaimana hubungan antara Muhammadiyah dan politik sudah diatur secara jelas dan terang benderang dalam dokumen-dokumen resmi organisasi, mulai dari Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah, Khitah Pejruangan Muhamadiyah, Khitah Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, dan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, sampai Keputusan-keputusan Muktamar dan Tanwir. Semua itu telah membentuk sebuah khazanah yag sangat kaya dan komprehensif yang antara lain berisi ketentuan-ketentuan normatif mengenai khitah Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, dakwah, dan amar ma’ruf nahi munkar, yang bersifat nonpolitik.

DR. Haedar Nashir, seorang Ketua PP. Muhammadiyah yang paling produktif (baca: dalam mengarang), telah menulis tema besar ini dengan sangat bagus di majalah Suara Muhammadiyah yang kemudian di himpun dalam buku Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (2010) yang beberapa waktu berselang didiskusikan di Jakarta, Yogyakarta, dan kota-kota besar lainnya. Pengetahuan dan penghayatan DR. Haedar Nashir tentang Khitah Muhammadiyah sangatlah ensiklopedis. Saya rasa sejauh menyangkut kemuhammadiyahan, dia itu “ensiklopedi berjalan” alias living encyclopedia. Bahkan tidak berlebihan apabila Dr. Haedar Nashir disebut “ideolog yang berjalan” (living ideolog).

Buku yang nyaris ensiklopedis tersebut mencakup persoalan yang sangat luas yang meliputi lima belas bab: Dari soal karakter Muhammadiyah, paham agama Islam, pemikiran ideologis, khitah perjuangan, pemikiran dakwah, tajdid, masyarakat Islam, dan lain-lainnya. Dr. Haedar Nashir menjadikan keputusan-keputusan dan dokumen-dokumen resmi Muhamamdiyah tersebut di atas sebagai sumber utamanya (primary sources atau al-mashodir al-afdholiyyah wa al-awailiyah) yang dengan demikian tidak ada yang salah dengan keseluruhan isi buku itu. Atau dengan kata lain, DR. Haedar Nashir menulis buku itu tanpa rasa bersalah sama sekali. Sebagai himpunan dan elaborasi dari ketentuan-ketentuan yang sudah baku, resmi, dan normatif tentunya memang demikianlah yang terjadi: semuanya sudah jelas, gamblang, dan terang benderang. Jadi buku ini tidak bisa dikritik!

Muhammadiyah: nonpolitik
Secara organisasional Muhammadiyah memang menyatakan dirinya sebagai tidak memiliki afiliasi politik dengan partai politik manapun, tidak berpolitik praktis, dan membebaskan warganya untuk memilih dalam pemilihan umum (baik pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pemilukada). Soal ini sampai disini saya rasa sudah selesai. Tidak ada seorang pun warga atau aktivis Muhammadiyah yang menyatakan keinginannya untuk mengubahnya dalam Muktamar ke-46 yang akan datang. Secara organisasional memang seperti itu ketentuannya/ itu sudah berjalan berpuluh-puluh tahun yang lalu.

DR. Haedar Nashir antara lain menulis: “Khitah Muhammadiyah juga dapat dijadikan sebagai pagar pembatas agar naluri ‘primitif’ (syahwat politik) perseorangan untuk berkiprah dalam perjuangan politik kekuasaan (power struggle) atau disebut ‘politik praktis’ tidak menyeret-nyeret Muhammadiyah secara kelembagaan. Partai Politik itu sebagaimana juga kekuasaan negara sangatlah penting dan strategis, termasuk untuk menegakkan dakwah Islam melalui tangan negara. Tetapi, wilayah yang penting itu sengaja tidak dipilih oleh Muhammadiyah yang sejak kelahirannya telah memosisikan diri sebagai gerakan Islam nonpolitik dengan keyakinan bahwa dakwah di bidang pembangunan masyarakat pun tidak kalah penting dan strategisnya dengan perjuangan politik di jalur kekuasaan negara.”

Selanjutnya mari kita baca bagian lain dari buku Dr. Haedar Nashir berikutnya: “Muhammadiyah sungguh ‘kenyang’ dengan hiruk pikuk dunia politik. Muhammadiyah merasakan betul betapa rumitnya bersentuhan dengan dunia politik. Sekali melibatkan diri dalam pergumulan politik kekuasaan, ketika itu pula centang perentang dan konflik di dalam maupun keluar akan terjadi, yang pada akhirnya membuat gerakan Islam ini kehilangan kepribadian dan peran utamanya sebagai gerakan Islam yang menjalankan fungsi dakwah dan tajdid untuk menyebarkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamien di muka bumi ini (hal 250-251).

DR. Haedar Nashir dalam bab IX buku itu mendeksripsikan secara menyeluruh tentang khitah perjuangan Muhammadiyah. Meski ketika berbicara tentang bagaimana pandangan Muhammadiyah terhadap politik dan kekuasaan ada bagian tertentu dari sebuah dokumen resmi organisasi yang ditinggalkan. Dokumen yang saya maksudkan ditinggalkan ini adalah buku Islam dan Dakwah: Pergumulan antara nilai dan Realitas (1998). Buku ini oleh DR. Haedar Nashir dijadikan juga sebagai sumber utama, bahkan ditulis dalam daftar pustaka, tetapi ternyata tidak cukup fair dalam pengutipannya, terutama menyangkut pandangan Muhammadiyah tentang kekuasaan, politik, dan ekonomi. Pasalnya, dalam buku ini justru dapat ditemukan sebuah pandangan yang sangat positif dan optimistis tentang politik dan kekuasaan, yang berbeda dengan pandangan-pandangan resmi organisasi yang dikutip DR. Haedar Nashir yang sebagian cenderung pesimistis dan kurang positif.

Dalam buku resmi terbaik yang pernah diterbitkan PP. Muhammadiyah Majelis Tablig tersebut dikatakan: “Bagi seorang Muslim, kegiatan politik harus menjadi bagian integral dari kehidupannya yang utuh. Mengherankan kalau ada Muslim yang menjauhi, apalagi membenci kegiatan tertentu yang menentukan arah kehidupan dan nasibnya, misalnya menjauhi politik dan ekonomi. Kehidupan dunia harus direbut dan dikendalikan agar sesuai ajaran Tuhan (hal. 87). Dikatakan juga bahwa “Suatu gerakan Islam yang bercorak sosio-keagamaan tidak boleh alergi terhadap politik. Wawasan keagamaan justru harus menyatu dengan wawasan kekuasaan. Yang perlu dijaga adalah dan hanyalah bagaimana agar kita tidak terjebak oleh isu-isu politik praktis yang tidak menguntungkan. Berpikir strategis dalam rangka menatap masa depan yang agak jauh dari diri kita sekarang”.

Meski ada nuansa pilih-pilih, kita tetap harus melihat fakta bahwa implementasi atau penerapan ketentuan-ketentuan yang normatif sudah barang pasti sangat tidak sederhana. Tidak selalu ada pararelisme antara yang tertulis dan yang ternyata. Pertanyaannya disini adalah apakah pelaksanaannya atau implementasinya di lapangan semulus dengan rumusan yang normatif dan estetik itu? Apakah benar ada pararelisme antara yang dirumuskan dan yang dilaksanakan di lapangan? Dalam kaitan ini, corak kepemimpinan Muhammadiyah sebagai pengelola dan penghela Muhammadiyah akan sangat menentukan. Pasalnya, kepemimpinan Muhammadiyah-lah yang akan memberikan respons terhadap dinamika politik yang melingkupinya dari waktu ke waktu itu berdasarkan ketentuan-ketentuan normative tersebut. Sementara para anggota hanya akan bersikap secara pasif baik setuju atau keberatan terhadap langkah-langkah pimpinannya.

Para pimpinanlah yang mengantisipasi dan menanggapi realitas situasi politik yang terjadi dan kemudian menafsirkannya dan meresponsnya. Meskipun system kepemimpinan dalam Muhammadiyah itu kolektif dan kolegial, peran elite atau apalagi seorang ketua/ketua umum pimpinan pusat (PP) tetap saja dominant dalam mengantisipasi dan menanggapi realitas politik yang terus berkembang itu. Bidang ini tentu saja sangat menarik untuk dikaji dan nyatanya banyak sekali kajian atau studi dalam bidang ini yang notabene telah menjadi khazanah ilmu pengetahuan yang cukup kaya. Salah satu kajian tersebut adalah apa yang dilakukan DR. Alfian dalam disertasinya Islamic Modernism in Indonesian Politics, The Muhammadiyah Movement during the Dutch Colonial Period 1912-1942. Dr. Alfian mengatakan, ‘Sebagai gerakan sosial besar yang terorganisasi baik di Indonesia, Muhammadiyah tampaknya tidak mampu menghindar untuk terlibat dalam politik. Ternyata, kadang-kadang Muhammadiyah benar-benar bermain politik secara langsung dan terbuka. Pendek kata, Muhammadiyah berbeda sikap dengan yang dinyatakan dengan karakter nyatanya yang nonpolitik sebagaimana dirumuskan dalam dokumen-dokumen tersebut di atas.

Muhamamadiyah, kata Dr. Alfian, memainkan tiga peranan yang saling terkait, yaitu (1) sebagai reformis keagamaan (antara lain melakukan gerakan memurnikan agama Islam dengan antara lain memberantas takhayul, bid’ah, dan khurafat, alias TBC; (2) sebagai pelaku perubahan sosial (bertujuan memodernisasi umat muslim Indonesia agar terangkat dari ketertinggalannya mencapai tempat terhormat di dunia modern); dan (3) sebagai kekuatan politik. Peran yang ketiga ini dapat dianalisis dari: pertama, pandangan filosofis Islam (antisekulerisme atau pemisahan agama dan Negara) dan kedua, perkembangan Muhammadiyah sebagai kelompok kepentingan besar dalam politik Indonesia. Tentu, seperti kata Dr. Alfian, “Karena Muhammadiyah sebagai kelompok kepentingan merupakan gerakan yang nyata-nyata nonpolitik, maka keterlibatannya sangat boleh jadi berbeda dengan keterlibatan organisasi-organisasi yang menjadikan politik sebagai profesinya. Sebagai organisasi nonpolitik tampaknya Muhammadiyah bila dimungkinkan, kapan saja, berupaya untuk tidask memainkan politik secara langsung dan terbuka (seperti dulu menyerahkannya pada Syarekat Islam (SI), Masyumi, Parmusi, dan seterusnya sesuai dengan situasi baru politik Indonesia. Tipe-tipe logika situasional (baik lokal dan maupun nasional) inilah yang menentukan peran politik Muhammadiyah.”

Ringkasnya, perkembangan Muhammadiyah sebagai kelompok kepentingan dengan tujuan-tujuan keagamaan dan sosialnya (katakanlah Muhammadiyah sebagai narasi besar yang memiliki pandangan dunianya/ world view) yang nyata dan jelas ditunjukkan melalui berbagai cara bahwa ia benar-benar terlibat dalam politik, yang kadang-kadang secara langsung dan terbuka. Karena itu, Muhammadiyah benar-benar tampak memiliki peranan ketiga sebagai salah satu kekuatan politik.

Lain Khitah Lain Implementasi
Muhammadiyah memang organisasi nonpolitik, tetapi pada kenyataannya Muhammadiyah tidak bisa menghindar sama sekali dari dinamika politik yang terjadi. Pertama, sebagai gerakan reformis Islam, tentu Muhammadiyah, sebagaimana klaim aktivisnya sendiri, tidak bisa memisahkan antara Islam dan Politik, bahkan menyatakan bahwa pemisahan antara keduanya merupakan salah satu bentuk dari sekulerisme yang ditentangnya secara sangat tegas.

Kedua, sebagai gerakan Islam yang mempunyai jumlah pendukung yang sangat besar, tentu Muhammadiyah memiliki political magnitude yang sangat besar. Muhammadiyah selalu menjadi sasaran dari lobi-lobi politik yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan politik baik secara organisasional maupun secara individual. Maka siapapun yang menjadi pimpinan puncak Muhammadiyah pastilah akan menghadapi situasi semacam ini yang secara tak terhindarkan dihadapkan pada pilihan-pilihan politik yang bersifat dilematis karena sering kali mengharuskannya untuk menyatakan sikap-sikap politiknya. Apalagi dalam politik itu, di samping tentu sarat dengan kepentingan-kepentingan yang terkait dengan kekuasaan, juga tidak jarang mengandung dimensi-dimensi ideologis, nilai, atau cita-cita besar.

Dimensi ideologis, nilai-nilai atau cita-cita tertentu dalam perjuangan politik itu tentu ada yang sejalan atau setidaknya paralel dengan pandangan hidup (worldview) Muhammadiyah sebagai gerakan Islam. Jika dihadapkan pada pertimbangan-pertimbangan ini, tentunya Muhammadiyah harus memilih dan ini bukanlah soal yang sederhana. Di sana ada dilema yang tidak mudah untuk disederhanakan, bahkan kadang-kadang merupakan pilihan yang tidak mudah (no easy choice).

Ketiga, sebagai gerakan Islam yang massif yang terorganisasikan secara baik dan memiliki tradisi ketaatan pada keputusan organisasi, para pimpinan di daerah dan para anggota Muhammadiyah tidak jarang meminta keputusan PP Muhammadiyah atas beberapa persoalan politik, bahkan pada saat-saat menghadapi event-event politik penting seperti pemilihan umum. Pimpinan dan warga Muhammadiyah di akar rumput bahkan tidak jarang “memaksa” pimpinan pusat (PP) untuk mengeluarkan sebuah instruksi dalam wadah keputusan pimpinan atas pilihan-pilihan politik yang harus dilakukan dalam event-event politik tersebut.

Keempat, Muhammadiyah adalah juga organisasi kader. Sebagai organisasi kader, Muhammadiyah selama ini menyiapkan kader-kader terbaiknya dalam tiga dimensi kekaderan: kader persyarikatan, kader umat, dan kader bangsa (di lapangan professional dan lapangan politik). Nah, Muhammadiyah yang nonpolitik dan netral secara politik sangat sering menghadapi dilema ketika ada di antara kader-kadernya yang terjun dalam kompetisi politik dalam pemilu legislatif, pemilu presiden, atau pemilukada. Sangatlah tidak bermoral dan bertanggungjawab jika Muhammadiyah sebagai organisasi kader bersikap tidak memihak kepada kader sendiri yang notabene dipersiapkannya sendiri sebagai kader terbaiknya itu. Lihat saja ketika Pilpres 2004 Muhammadiyah menghadapi situasi pelik dan dilematis semacam ini. Semua kita tahu apa yang diputuskan dan dilakukan Muhammadiyah waktu itu secara organisasional. Apakah dengan demikian Muhamamadiyah waktu itu netral secara politik? Apakah waktu itu Muhammadiyah dapat dikatakan sebagai tidak berpolitik? Demikianlah juga yang terjadi pada event-event politik lainnya di waktu dan tempat yang berbeda.

Walhasil, pimpinan Muhammadiyah di semua jajaran ternyata memiliki wewenang untuk membuat diskresi yang sering kali tidak paralel dengan rumusan-rumusan formal-organisasional dalam dokumen-dokumen resmi tersebut di atas. Mudah beretorika Muhammadiyah tidak pernah berpolitik dengan mengutip dokumen-dokumen khitah. Pada kenyataannya dokumen adalah satu hal dan pelaksanannya adalah hal yang lain. Pasalnya, pucuk pimpinanlah yang akhirnya terpaksa menentukan sikap politik. Posisi pimpinan memang sangatlah strategis, tetapi juga sekaligus dilematis. Maka menjadi pimpinan tidak segampang dan tidak sesederhana menulis khitah! Ini berlaku bagi siapapun yang menjadi pimpinnya!  Wallahu a’lam

*)
– Penyaji adalah Ketua MPK PDM Kabupaten Gunungkidul pereode 2010-2015.
-Disajikan dalam forum pengajian PCM Semin, Jum’at 28 februari 2014

oleh: Drs. Mahmud fauzi, M.Pd.I 

Tags

Related posts

*

*

Top